Dalam sebuah
sesi pembelajaran, bertanya merupakan aktifitas penting dengan berbagai tujuan.
Berikut ini beberapa tujuan dari pertanyaan yang diajukan guru kepada siswa
dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika.
1. Menelaah dan merangkum pembelajaran sebelumnya
Tujuan bertanya yang satu ini mengandung dua dimensi, yaitu menelaah dan
merangkum pembelajaran topik yang sebelumnya, dan menelaah dan merangkum topik
yang baru dipelajari. Untuk dimensi pertama diperlukan agar siswa bisa melihat
keterkaitan antar materi pelajaran matematika. Hubungan konsep-konsep di dalam
matematika jauh lebih penting dari pada konsep itu sendiri, karena setiap
konsep memerlukan konsep lain di dalam matematika. Jadi, tanpa memahami
hubungan tersebut, pembelajaran suatu konsep akan lebih sulit atau bahkan
mustahil.
Contoh
pertanyaan lisannya antara lain:
“Untuk mengingat pelajaran sebelumnya, coba nyatakan dengan kata-kata bagaimana
menghitung luas jajargenjang!”
Hindari pertanyaan yang mengarahkan siswa menjadi secara serentak atau membaca
tulisan yang ada, karena tidak membuat siswa menelaah apa yang telah
dipelajari.
Contoh pertanyaan yang perlu dihindari:
“Untuk mengingat pelajaran sebelumnya, coba sebutkan rumus menghitung luas
jajargenjang!”.
Contoh lain pertanyaan terkait tujuan ini:
“Setelah kamu mempelajari sifat-sifat persegipanjang, apa yang dapat kamu
katakan hubungan persegipanjang dengan jajargenjang yang dipelajari
sebelumnya?”
Untuk
dimensi kedua, tujuan bertanya lebih diarahkan pada merangkum atau menarik poin
penting dari apa yang telah dipelajari. Sementara kegiatan menelaah lebih
intens diberikan di dalam proses pembelajaran berlangsung.
Contoh pertanyaannya:
“Sekarang, coba masing-masing dari kamu memikirkan, hal-hal apa saja yang
menjadi ciri penting dari sebuah jajar genjang!”
“Jadi, apa kesimpulan yang dapat kita tulis setelah mempelajari hubungan antar
bangun datar?” Bagaimana kamu dapat menyatakan hubungan tersebut secara
sederhana?
2. Mendorong
atau melibatkan siswa berpikir matematis
Apa itu
berpikir matematis? Secara umum berpikir matematis selalu memfokuskan pikiran
melibatkan kecermatan, relevansi, dan ketepatan. Dalam bahasa yang agak
sederhana, berpikir matematis sesungguhnya berpikir logis. Namun tentu yang
dimaksud adalah logika matematika, logika yang didasarkan pada kebenaran secara
matematis. Jadi, berpikir matematis tidak “melulu” harus berkaitan dengan angka
atau bilangan. Terkadang ada siswa berpikir dengan menggunakan bilangan namun
tidak tepat bahkan tidak relevan.
Tidak semua
pertanyaan dapat mendorong siswa untuk berpikir matematis. Oleh karena itu,
harus dipilih dengan cermat pertanyaan yang dapat mendorong siswa berpikir
matematis.
Penggunaan
bilangan tentu saja membuat sesuatu menjadi lebih cermat.
Contohnya: “seberapa besar selisih luas antara lapangan voli dengan lapangan
sepak bola?”
Contoh yang harus dihindari: “Lebih luas mana, apakah lapangan voli ataukah
lapangan sepakbola?”
“Coba kamu
pikirkan mengapa persegipanjang merupakan jajargenjang?”, “Apakah semua sifat
jajargenjang ada pada persegipanjang?”, ...
Hindari pertanyaan: “Apakah persegipanjang dan jajargenjang itu berbeda?”.
Selain tidak perlu, jika tidak diikuti dengan pertanyaan yang lebih
substansial, pertanyaan ini tidak akan membuat siswa berpikir matematis.
Untuk
mendorong siswa berpikir lebih cermat dan teliti, gunakan pertanyaan yang menghendaki
kecermatan dan ketelitian.
Contoh: “Hitunglah volume botol air mineral tersebut dalam satuan cm3 hingga
angta satuan terdekat!”
Untuk dapat
mendorong siswa berpikir matematis-logis, hindarkan bentuk pertanyaan yang
bersifat dikotomi atau benar salah atau sekedar menyebutkan definisi atau bunyi
suatu konsep. Jadi, hindari bentuk pertanyaan “Sebutkan....”, atau
“Apakah....”.
Bentuk pertanyaan yang dapat digunakan, seperti: “Mengapa .... “, “Bagaimana
cara .....”, “Deskripsikan ....”, atau “Berilah contoh .... dengan sifat ... “.
Bagaimana
jika ternyata siswa belum mampu berpikir matematis atau ternyata apa yang
dipikirkan siswa belum mengarah pada berpikir matematis?
Dalam hal ini, guru dapat mengajukan pertanyaan yang bersifat penggugah atau pendorong.
Contoh:
“Coba kamu pikirkan lagi, apakah sudah tepat cara menjawabnya seperti itu?”
“Bagaimana kamu mendapatkan bilangan tersebut? Adakah perhitungan yang aneh
yang telah kamu lakukan?“
“Coba dilihat kembali, mungkinkah jawabannya merupakan bilangan pecahan?”
3. Menilai
kesiapan siswa
Bertanya
juga dibutuhkan untuk menilai kesiapan siswa. Tentu bukan kesiapan fisik
semata, tetapi yang lebih penting kesiapan untuk berpikir. Ini penting
diindahkan, karena keberadaan siswa di kelas tidak berarti kesiapan siswa
mengikuti pelajaran. Dalam mempelajari matematika, berpikir merupakan aktivitas
paling pokok yang harus dipastikan dilakukan oleh siswa.
Bentuk
pertanyaan dengan tujuan ini lebih bersifat lisan ketimbang tulisan. Oleh
karena itu, dengan melihat susasana dan perilaku siswa di kelas, guru juga
dapat mengambil keputusan apakah bertanya ataukah tidak.
Contoh
pertanyaanya:
“Bagaimana anak-anak, apakah kalian siap menyelidiki volum limas?”
“Andi, coba sebutkan peralatan apa saja yang sudah disiapkan kelompokmu!”
“Apakah masih ada pertanyaan lagi atau masih ada yang ragu, berikutnya kita
akan mempelajari volum kerucut”
4. Mengecek
pekerjaan rumah atau tugas kelas dan pemahaman siswa
Bentuk
bertanya secara lisan juga dapat diajukan untuk mengecek pekerjaan rumah (PR)
siswa. Hal yang perlu dicek antara lain, apakah mereka sudah menyelesaikan PR,
apakah ada anggota kelompok yang tidak ikut mengerjakan PR, apakah mereka
membutuhkan waktu lebih lama lagi, apakah mereka membutuhkan penjelasan tambahan,
atau apakah ada masalah atau soal yang membingungkan bagi mereka.
Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu akan membantu kita sebagai guru memberikan penilaian
terhadap tugas PR secara lebih adil dan benar.
Hal yang
sama juga berlaku bila bertanya ditujukan untuk mengecek tugas kelas dan
pemahaman siswa.
Contoh
pertanyaannya:
“Soal nomor berapa yang paling menyulitkan menurut kalian? Mengapa?”
“Adakah yang belum jelas terkait tugas tersebut?”
“Adakah kata-kata yang masih membingungkan bagi kalian?”
5. Memfokuskan perhatian siswa pada materi matematika tertentu
Untuk
membuat siswa fokus pada pembelajaran, guru perlu melakukan segala upaya agar
pembelajaran menjadi lebih menarik. Namun jika ada beberapa siswa tidak fokus
karena melakukan aktivitas lain, maka guru harus segera meminta atau
mengalihkan siswa agar fokus pada pembelajaran. Teknik bertanya menjadi salah
satu cara untuk mendapatkan perhatian siswa pada pembelajaran.
Contoh.
“Dewi..., mengapa kamu melihat ke luar jendela?”
“Arman, Budi.... sudahkan kalian berdiskusi dengan kelompokmu?”
Hal lain
yang lebih teknis adalah bagaimana membuat siswa lebih fokus pada hal-hal
tertentu dalam materi matematika. Dalam tujuan ini, kita perlu menampilkan
pengingat atau salah satu ciri penting dari materi tertentu itu.
Misalkan kita ingin siswa fokus pada hubungan kuantitatif atau hubungan
perbandingan antara volum limas dan volum prisma dengan luas alas dan tinggi
yang sama, maka kita perlu mengarahkan siswa pada beberapa kegiatan yang
terkait atau ciri dari konsep kuantitas atau perbandingan tersebut.
Contoh:
“Sudah berapa kali kamu menakarnya? Jadi, berapa perbandingannya?”
“Setelah melakukan kegiatan tersebut, coba kalian tulis hubungan volum kedua
bangun tersebut! Gunakan data yang sudah kamu peroleh.”
6. Menilai ketercapaian tujuan pembelajaran atau sebagai asesmen formatif
Tujuan
bertanya sebagai asesmen formatif, lebih baik dinyatakan secara tertulis karena
bisa menjangkau setiap siswa dan bersifat individual. Pertanyaan formatif yang
bersifat lisan di depan kelas, tidak dapat menilai siswa satu per satu. Dengan
demikian tujuan menilai untuk melakukan kedudukan siswa dan diagnosa kesulitan
tidak akan tercapai.
Tidaklah
benar, jika pertanyaan asesmen berkisar pada pertanyaan benar salah, juga
pertanyaan terkait definisi atau bunyi rumus. Namun demikian, pertanyaan yang
bersifat konseptual tidak berarti tidak penting. Barangkali sering dilupakan
oleh guru, bahwa tidak semua siswa telah memahami konsep walaupun mereka dapat
menyelesaikan soal-soal terapan konsep tersebut. Hanya saja, pertanyaan berbentuk
konseptual harus dinyatakan untuk mendapatkan pemahaman bukan ingatan semata.
Contoh:
“Coba nyatakan dengan 3 cara berbeda, pengertian bangun datar persegi!”
“Berilah contoh dan bukan contoh, 5 benda dalam bentuk yang berbeda-beda di
sekitar kita yang dapat dikategorikan sebagai prisma!”
“Jelaskan, apakah kerucut termasuk dalam jenis bangun ruang limas?”
Sementara
bentuk pertanyaan tersapan konsep, tidak cukup pertanyaan yang bersifat
mekanistik. Jauh lebih penting, bentuk pertanyaan yang bersifat problematik
atau bersifat terbuka namun tetap terkait dengan konsep yang akan dinilai.
Contoh yang bersifat mekanistik:
“Berapa cm2 luas persegipanjang yang alasnya 4 cm dan tingginya 9 cm?”
“Hitunglah volume limas, jika diketahui luas alas 10 cm^2 dan tingginya 5 cm!”
Contoh
pertanyaan yang dianjurkan:
“Jika sebuah persegipanjang memiliki luas 36 cm2 dan memiliki sisi-sisi
bilangan bulat, lukislah semua bentuk persegipanjang yang mungkin dalam satuan
cm!”
“Jika volum limas 100 cm2 dan tingginya 5 cm, berapa keliling yang alasnya
berbentuk segitiga?” Nyatakan jawabanmu dalam angka satuan terdekat!
“Pak Dirman akan membuat wadah penampung air. Ia ingin wadah dapat menampung
antara 80 hingga 100 liter air. Berbentuk apa dan berapa ukuran wadah yang dapat
dibuat Pak Dirman?”
7. Mendiagnosa kesulitan siswa
Untuk dapat
mendiagnosa kesulitan siswa, maka bertanya yang bersifat gradual perlu
dilakukan. Namun ini lebih kepada pertanyan lisan. Namun untuk bentuk
pertanyaan tertulis, maka pemilihan pertanyaan yang kaya akan subtansi lebih
diutamakan, misalnya pertanyaan terapan konsep, pemecahan masalah, atau bentuk
pertanyaan terbuka (open ended).
Contoh.
Ani, mengapa kamu hanya benar 2 dari soal soal? Mengapa di 8 nomor itu, kamu
tidak dapat menjawab? Adakah soal-soal itu membingungkan kamu? Apakah kamu
tidak memahami beberapa istilah dalam soal? Apakah kamu kesulitan untuk
menemukan cara menjawab soal itu? Apakah kamu merana kesulitan melakukan
perhitungan?
Dalam
kerangka asesmen formatif apalagi sumatif, maka membuat pertanyaan yang
bersifat uraian akan sangat membantu guru dalam mendiagnosa kesulitan siswa.
Oleh karena itu, tanpa meninggalkan pertanyaan konseptual, maka bentuk
pertanyaan aplikasi yang bersifat kaya atau penuh dengan data, cara, bahkan
alternatif jawaban mutlak diperlukan.
8. Mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan sikap inkuiri
Bertanya
jika tepat kita meramu isi pertanyaanya, maka dapat mendorong siswa untuk lebih
kritis dan kreatif. Seperti yang telah dijelaskan di bagian terdahulu, perlu
dihindari pertanyaan yang bersifat dikotomi atau mendorong pada jawaban yang
seragam.
Sikap
inkuiri atau sikap selidik dapat didorong dengan bentuk-bentuk pertanyaan yang
dapat menantang pikiran siswa. Alih-alih membuat soal yang rumit, lebih baik membuat
soal sederhana tetapi membutuhkan pemikiran yang kritis untuk dapat
menyelesaikannya.
Contoh.
“Buatlah sebuah trapesium yang semua sisinya merupakan bilangan bulat!”
“Untuk membentuk bangun segitiga, diperlukan 3 koin atau 6 koin, seperti tampak
pada gambar. Berapa koin di antara 100 dan 120 yang dapat membentuk sebuah
segitiga?”
9. Memancing
siswa untuk mengemukakan pendapatnya sendiri
Tujuan
bertanya ini penting karena untuk mendorong siswa berani mengemukakan pendapat
dan bertanggungjawab atas pilihannya dalam memecahkan masalah/soal.
Tidak mudah
memancing siswa untuk mau mengemukakan pendapat. Segala upaya harus dapat
dilakukan guru agar siswa terdorong untuk mengemukakan pendapatnya sendiri.
Namun tentu saja, guru harus memberikan pertanyaan yang bersifat terbuka atau
memungkinkan cara dan/atau jawaban yang berbeda-beda. Jika soal yang diajukan
bersifat tertutup atau hanya ada satu jawaban atau satu cara maka tidak dapat
diharapkan adanya pendapat sendiri yang berbeda dari siswa.
Pertanyaan
memancing harus dipilih sehingga memungkinkan siswa untuk berani menyatakan
pendapatnya.
Contoh.
“Coba kamu cermati hasil pekerjaan Tiwul. Ada yang perlu ditanyakan? Adakah
yang perlu penjelasan tambahan? Atau adakah yang keliru?”
“Ada yang berbeda dari apa yang dikerjakan Tiwul di depan tadi?”
“Ibu pikir mungkin ada cara lain, siapa yang menjawab dengan cara berbeda dari
Tiwul?”
“Pekerjaan Tiwul sudah benar, tetapi mungkin ada yang lebih baik. Adakah cara
lainnya?”
10. Memberi kesempatan kepada semua siswa mendengar penjelasan yang
berbeda-beda dari siswa lainnya
Tujuan
bertanya ini dicapai bila bertanya dengan tujuan memancing siswa mengemukakan
pendapatnya sendiri dapat terwujud. Pertanyaan yang dapat diajukan kepada siswa
sama dengan pertanyaan-pertanyaan untuk memancing siswa mengemukan pendapatnya
sendiri.
11. Membantu
guru menentukan laju pelajarannya dan untuk mengendalikan perilaku siswa
Bentuk
pertanyaan dengan tujuan menentukan laju pelajaran berkaitan dengan substansi
materi yang telah dipahami siswa. Jika dianggap siswa telah memahami sepenuhnya,
maka guru perlu mengajukan pertanyaan untuk meyakinkan guru akan hal itu.
Contoh.
“Jadi, semua sudah paham, mengapa rumus limas memuat faktor sepertiga?”
“Apa kesimpulanmu mengenai sifat-sifat belah ketupat?”
Untuk
mengendalikan perilaku siswa, umumnya berbentuk pertanyaan lisan, karena
perilaku merupakan aktivitas yang dapat diamati. Perilaku siswa dapat bersifat
positif maupun negatif. Perilaku yang bersifat positif antara lain keseriusan,
disiplin, cermat. Sementara perilaku negatif sebaliknya, tidak acuh, seenaknya,
terburu-buru, dan lain sebagainya.
Dengan
bertanya, maka guru dapat mengendalikan perilaku siswa menuju ke arah positif,
baik pertanyaan itu bersifat substantif maupun non-subtantif. Jika
pertanyaannya subtantif, maka siswa akan tersadar dan mau terlibat agar dapat
menjawabnya. Namun bila bersifat non-substantif maka lebih diarahkan untuk
mendapatkan perhatian langsung dari siswa.
Contoh.
“Nah, sekarang, ibu mau bertanya, soal nomor ......” (substantif)
“Ehhmm, Gareng.... mengobrol apa dengan Susi...?” (non-substantif)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
silahkan isi komentar dengan bahasa sopan