Social Icons

Selasa, 08 November 2022

Kesimpulan dan Refleksi Pengetahuan dan Pengalaman Baru yang Dipelajari dari Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Menurut Ki Hajar Dewantara (1936) pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah untuk kehidupan anak-anak, baik lahir maupun batin. Pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Pendidikan menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Meskpun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup dan tumbuhnya anak-anak, tetapi pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Pendidikan anak juga berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”.

Pada dasarnya guru hanya bisa menuntun, memberi contoh, membangun semangat dan memotivasi anak seperti semboyan Ki Hajar Dewantara “ Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani”.

 

Menguasai diri merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. Banyak watak biologis tidak dapat lenyap dari jiwa manusia. Jika kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut baik dan kokoh, maka dapat mewujudkan kepribadian dan karakter jiwa yang berazas hukum kebatinan, sehingga ia selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis.

Cara-cara mendidik beragam banyaknya, akan tetapi pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti berikut:

1. Memberi contoh (voorbeld);
2. Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)
3. Pengajaran (wulang-wuruk, leering)
4. Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);
5. Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);
6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving)

Umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): 
a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); 
b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan 
c) masa ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode).

Sebelum saya mempelajari refleksi pemikiran pendidikan KHD, saya sebagai guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas lebih banyak memonopoli kegiatan, guru lebih aktif dari siswa. Saya beranggapan siswa tidak dapat memahami materi jika tidak saya jelaskan. Saya juga beranggapan bahwa siswa telah mencapai tujuan pembelajaran jika siswa telah menguasai kompetensi dasar yang dibuktikan dengan nilai melampaui KKM. Saya memberikan tugas tanpa mempertimbangkan perbedaan potensi siswa. Saya juga beranggapan bahwa pemberian sanksi kepada peserta didik dapat mengubah perilaku siswa menjadi lebih baik

Setelah mempelajari refleksi pemikiran pendidikan KHD, terjadi perubahan pola berpikir dalam diri saya ketika melaksanakan pembelajaran di kelas. Saya mengubah pemikiran saya yang tadinya berpikir bahwa anak selembar kertas kosong ternyata tidak tepat, setiap anak lahir memiliki potensi sendiri-sendiri. Saya berusaha mengenali setiap potensi anak didik dan karakteristiknya yang berbeda-beda. Saya mengubah pusat pembelajaran, yaitu berpusat pada anak. Saya memberikan ruang, kesempatan, dan fasilitas seluas-luasnya kepada anak agar ia mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Saya sebagai pendidik, menempatkan diri saya sebagai fasilitator yang menuntun anak agar ia mampu mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. 


Hal-hal yang coba saya terapkan agar kelas saya mencerminkan Ki Hajar Dewantara antara lain saya mencoba menciptakan suasana kelas yang menyenangkan serta sejalan dengan kodrat anak yang senang bermain. Saya mengkolaborasikan asiknya kebiasaan masyarakat di tegal dan permainannya ke dalam kegiatan pembelajaran. Misalnya dengan melakukan kerja kelompok dalam nuansa moci (minum teh bareng) ketika pembelajaran berlangsung.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan murid yang berbudi pekerti yang baik, saya sebagai guru selain memberikan arahan dan pembinaan, saya memberikan teladan yang baik. Anak tidak hanya melakukan apa yang saya katakan, tapi anak dapat meneladani perilaku baik yang saya contohkan. Saya berusaha menerapkan semboyan Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho, dari atas saya bisa memberikan teladan bagi setiap anak didik saya, Ing Madyo Mangun Karso di tengah saya bisa jadi teman yang memberikan semangat, serta Tut Wuri Handayani dari belakang saya bisa memberikan dorongan moral serta semangat belajar.